Jakarta (Citra Indonesia): Ketua Asosiasi Keramik Ahmad Wijaya menyayangkan pemerintah yang selalu lebih percaya kepada patokan Makro, tanpa melihat indikator mikro secara riil di lapangan.
“ Pemerintah begitu percaya indikator Makro, sehingga industri hilir menjadi tidak pernah tersentuh. Pemerintah terlalu pro Makro, mikro tidak pernah disnetuh,†ungkapnya, dalam konferensi pers di kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Rabu (26/1/2011).
Menurut, bila selalu mempercayai indikator Makro, akibatnya pemerintah menjadi tidak melihat pertumbuhan industri yang pada kenyataannya tidak pernah di atas Gross Domestic Product (GDP) Indonesia.
Dia melanjutkan, karena banyaknya biaya-biaya yang harus ditanggung pelaku usaha di industri hilir, maka industri ini keuntungannya pun kian tipis.
Ironsinya ditambah lagi, belum tersedianya infarstruktur yang baik, membuat pelaku usaha harus merogoh kocek yang lebih besar lagi.
Dengan ditambahnya beban kebijakan pencabutan capping (pembatasan) tarif dasar listrik (TDL) maksimal 18% untuk sektor industri dan pemberlakuan Peraturan Menkeu No.241/PMK. 011/2010 mengenai penetapan bea masuk bahan baku, makin lengkap penderitaan industri. Membuat pelaku usaha hilir megap-megap.
“Dengan itu semua itu bisa dilihat menuju ke industri yang di hilirnya tidak bertumbuh,†tegasnya.
Dan bila ini yang terjadi, maka degung yang selama ini disiarkan pemerintah dalam program pembangunannya, yang pro job akan malah sebaliknya,.
Akhirnya berdampak pada putusnya hubungan kerja masyarakat yang selama ini bekerja di industri hilir. Karena, pelaku usaha di industri hilir akan menjadi mati, dan memilih beralih mejadi pedagang.
Dengan itu semua, Ahmad juga mempertanyakan arah kebijakan pemerintah sebenarnya. “Kita ini mau konsumtif atau menjadi produktif.†tegasnya.
Menurutnya dengan diberlakukannya PMK 241 tersebut, pemerintah telah mengarahkan ke arah konsumtif. Sedangkan arah industri di produktifitas menurutnya tidak ada. (iskandar)