JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu mengaku belum tahu mengenai membanjirnya minyak sawit bersertifikat RSPO/ Certified Sustainable Palm Oil di pasar dunia.
“Saya belum tahu persis masalah ini. Tetapi sekarang sedang ada pertemuan pengusaha CPO dunia di bali. Pak Mahendra (Wakil Menteri Perdagngan Mahendra Siregar) yang membuka. Nanti pertanyaan anda ini akan saya tanyakan,†tegas Mari Pangestu, Rabu (1/12/2010) di Kantornya, Jakarta.
Membajirnya produk tersebut lantaran rendahnya serapan pasar. Rudolf Saut Public Affair Director Cargill Indonesia, mengatakan anjloknya harga karena permintaan CSPO masih rendah.
“Saat ini, suplai CSPO di dunia yang mencapai lebih dari 3 juta ton tetapi permintaan hanya sekitar 1,7 juta ton,†papar dia.
Senin, 9 November 2010, beberapa peserta Roundtable (RT) -8 RSPO yang keluar untuk coffee break, tampak berkeluh kesah.
â€Pihak pembeli tidak berani memberikan harga premium CSPO padahal produsen telah bersusah payah menjalankan proses sertifikasi†kata salah seorang peserta RSPO, tulis infosawit.
Masalah harga premium tetap dipertanyakan kalangan produsen yang telah memiliki sertifikat. Di Indonesia, berdasarkan website resmi RSPO tercatat sudah ada 11 perusahaan kelapa sawit yang lahan dan pabriknya bersertifikat RSPO.
Lalu ada 8 perusahaan Malaysia yang memiliki sertifikat RSPO dan dua perusahaan asal Papua Nugini. Total CSPO yang dihasilkan mencapai 3,25 juta ton dan produksi CSPK sebanyak 736.981 ton.
Rudolf Saut menambahkan, salah satu anak perusahaan Cargill Indonesia, PT Hindoli, menjual CSPO sebesar 70% dari produksinya. Pada dua tahun lalu ketika harga premium CSPO mencapai US$ 50/ton, menurut dia, sempat pula dinikmati oleh perusahaan tetapi setelah itu harga pelan-pelan merosot. “Dari US$ 50/ton menjadi US$ 4,10/ton,†ujar Rudolf.
Merujuk kepada situs Greenpalm, pada perdagangan 12 November 2010, harga CPO bersertifikat diperdagangkan sebesar US$ 3,75/ton dengan volume sebanyak 312 ton. Sementara itu pada 2008, harga CSPO sempat menyentuh harga US$ 40/ton tetapi melorot drastis menjadi US$ 0,8/ton ketika awal Maret 2010.
Rendahnya minat pembeli terutama yang menjadi anggota RSPO, untuk menyerap CSPO inilah yang dituding menjadi penyebab utama anjloknya harga. Padahal hingga saat ini, sudah ada 30 produsen kelapa sawit yang sedang memproses sertifikasi RSPO.
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Gapki, Purboyo Guritno mengeluhkan respon pembeli yang kurang menghargai kerja keras produsen CPO yang telah memiliki sertifikat. Mestinya, kata Purboyo, ada take and give yang diberikan pembeli.
“Jadinya produsen yang menjadi anggota RSPO nampak ditekan untuk mengimpelementasikan P&C RSPO. Apalagi, tiap tahun muncul ketentuan baru yang lebih memberatkan kalangan produsen seperti emisi gas rumah kaca dan new planting procedure,†kata Purboyo kepada InfoSAWIT.
Presiden Direktur RSPO, Jan Kees Vis menuturkan RSPO tidak dapat menekan pihak pembeli untuk memberikan harga premium kepada minyak sawit bersertifikat. Tinggi rendahnya harga, kata dia, bergantung kepada permintaan pasar.
Malahan dia menilai produsen bersifat greedy (serakah) andaikata tetap mengharapkan harga premium. Alasannya terdapat selisih tinggi antara biaya produksi CPO dengan harga jual CPO di pasar internasional. â€Jika ada harga premium maka akan berkompetisi dengan harga normal di pasar CPO dunia,†kata Kees Vis kepada InfoSAWIT.
Dalam penutupan RT-8 RSPO, M.R. Chandran selaku Advisor Executive Board RSPO menuturkan para pembeli menilai growers (produsen) telah menikmati keuntungan dari penjualan CPO dengan harga normal hingga 400%. Untuk itu, kata-nya, sangatlah tidak wajar jika produsen masih mengharapkan harga premium.
Sementara itu, anggota RSPO dari kalangan produsen dan petani sawit dalam penutupan RT-8 RSPO di sesi World Cafe Feedback, tetap menuntut pihak buyer memberikan harga premium untuk CSPO yang mereka hasilkan. (olo)