JAKARTA, CITRAINDONSIA.COM- Petani sawit rugi Rp50 triliun sejak tahun 1994 atas Bea keluar (BK) CPO. Bahkan petani masih dibebani pajak progresif CPO. Ini mereka nilai sebagai program “pungli pemerintah”. Jadi harus dihentikan.
Petani perkebunan merasa dirinya menjadi sasaran empuk pemerintah yang memunglinya, mulai PBB, Pph, ppn, pajak genset, pajak penerangan jalan, retribusi, sumbangan wajib Rp50 juta/tahun.Tidak hanya itu, petani juga masih dipungut pajak tegakan pohon, perdes (peraturan desa) dan bahkan jatah untuk preman setempat.
Akibatnya BK tersebut, petani mengklaim rugi Rp500 miliar/ tahun. Maka mereka minta BK CPO dihapuskan. Kalaupun ada BK dibuat flat maksimum 3%.
Kemudian dana hasil pungutan BK itu, pemerintah wajib mengembalikannya ke stake holder, petani, pengembangan kelapa sawit, bantuan bibit, peremajaan dan infrstuktur.
“Kalau perhitungan kami, sudah 50 triliun sejak 1994-sampai sekarang yang dikumpulkan pemerintah, saya sudah sampaikan ke Presiden agar dana bagi hasil kembalikan ke 18 provinsi penghasil CPO. Di daerah, oleh Bupati, jalan tidak boleh dilalui oleh CPO. Kami lewat mana, bupati sudah seperti raja,” kata Asmar Arsjad, Sekjen asosiasi petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dalam seminar “Prospek Industri Sawit Nasional- Dampak BK Terhadap Daya saing CPO Indonesia,â€, di Jakarta, Kamis (27/1/2011).
Ia mengakui, besarnya kontribusi sektor sawit, sudah selayaknya pemerintah memberikan affirmative (berpihak) kepada petani. Misalnya membangun infrastruktur dan menghapuskan biaya tetek-bengek. Kemudian memberantas pungli. Terlebih para Bupati di daerah melarang angkutan sawit melintas di daerah- daerah tertentu.
“Kontribusi kelapa sawit rakyat besar. Sebanyak 45% dari 7,9 juta hektar. Sekarang apa yang dikembalikan pemerintah ke rakyat, saya sudah sampaikan kasus ini ke Menko. Tapi tidak ada jawaban, jadi bagaimana?,” keluhnya.
Tak hanya mengeluh ke Menko Perekonomian, kasus tersebut juga sudah dikeluhkan dan dilaporkan ke DPR. “Sudah berkali-kali pajak ekspor ini dilaporkan. Sejak tahun 1994 dipungut, tapi tidak ada kejelasan,” jelasnya.
Ia juga mengatakan, dengan kontribusi yang besar tersebut, sudah selayaknya belajar dari Malaysia. “Di sana dikutif 3 dolar. Tapi uang pungutan itu dikembalikan lagi ke promosi, membangun litbang dan infrastruktur,” terangnya. (iskandar)