JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Para petani sawit di tanah air dengan tegas menolak program pemerintah memberlakukan tarif bea keluar progresif terhadap crude palm oil (CPO).
“Petani menolak pemberlakukan bea keluar progresif terhadap crude palm oil (CPO). Harus ditinjau ualng. Petani maunya bea keluarnya yang flat,†kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad dalam siaran pers yang diterima Citra Indonesia.com, Minggu (26/12/2010).
Menurut Asmar, petani terus rugi terkait pemberlakuan bea keluar CPO yang progresif. Sebab kenaikan bea keluar seluruhnya akan dipotongkan dari harga tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan oleh para petani.
Padahal, dengan struktur bea keluar yang progresif, kenaikan tarif bea keluar akan terus terjadi seiring dengan naiknya harga CPO.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, maka diputuskan bea keluar baru.
Pada aplikasinya, untuk harga referensi US$1.200 per ton, maka bea keluarnya adalah 20 persen. Jika harga referensi ini naik US$51 menjadi US$1.251, bea keluarnya ikut naik menjadi 25 persen.
Sebagai catatan, harga minyak sawit mentah Jumat (10/12/2010), mencetak rekor tertinggi dalam 29 bulan terakhir. Kontrak CPO untuk pengiriman Februari 2011 di Malaysia Derivative Exchange tercatat telah mencapai US$1.153 per ton.
“Kami tidak keberatan jika tujuannya untuk memajukan industri hilir. Tapi jika harga terus naik, petani akan terus tertekan bea keluar progresif,” imbuh Asmar.
Asmar juga meminta pemerintah melihat Malaysia dalam penerapan bea keluar progresif. Malaysia tadinya mencontoh Indonesia dalam implementasi bea keluar guna menggenjot industri hilirnya. Dengan penerapan yang benar. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Malaysia lebih pesat bila dibandingkan di Tanah Air.
Desakan itu juga menyusul langkah pemerintah menggodok kebijakan insentif pajak dan pengenaan bea keluar CPO pada Januari 2011 mendatang. (friz)