Jepang (Citra Indonesia): Seiring Tsunami (badai penghancur dunia), Perdana Menteri Jepang Naoto Kan pun dihantam tsunami politik. Ia mengaku menerima dana dari luar negeri saat kampanye politiknya.
Kan mengatakan tidak menyadari bahwa donasi politik itu berasal dari seorang warga Korea Selatan yang tinggal di Jepang. Bagi negera di luar negeri, donasi seperti itu diharamkan.
Namun kepada anggota kabinetnya, Kan menolak mundur. Walau undang-undang (UU) Jepang melarang praktek itu kalau dilakukan secara sadar.
“Saya pikir dia warga negara Jepang, apalagi namanya mirip orang Jepang,” kata Kan kepada Parleman Jepang.
“Saya tak menyadari kalau dia warga asing seperti yang dilaporkan,”.
Kan kemudian berjanji “mengembalikan uang pemberian itu jika terbukti orang tersebut adalah warga asing.”
Ketika ditanya apakah dia akan mundur dari kursi perdana menteri, Sekretaris Kabinet Yukio Edano dalam jumpa pers mengatakan: “Saya mendengar Perdana Menteri tidak memikirkan tentang hal itu.”
Dukungan kepada Kan juga ditunjukkan Menteri Keuangan Yoshihiko Noda, yang mengatakan kepada Kantor Berita Dow Jones, “Kan menerima donasi luar negeri itu bukan kesengajaan, dan saya tak melihat masalah hukum di dalamnya.”
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara mundur dari jabatannya setelah mendapat kecaman karena menerima donasi politik dari seorang warga asing.
Langkah itu dianggap sebagai pukulan bagi Perdana Menteri Naoto Kan, yang selama ini kesulitan meloloskan RUU anggaran di parlemen dan sedang berupaya mempertahankan jabatannya.
Maehara sebelumnya diyakini berpotensi menggantikan Kan.
Mantan menteri luar negeri itu mengumumkan keputusannya dalam jumpa pers yang ditayangkan di televisi, dua hari setelah dia mengakui menerima sumbangan politik senilai 50.000 yen (Rp5,3 juta) dari seorang warga Korea Selatan yang tinggal di Jepang.
Jumlah itu kecil, tetapi UU Jepang melarang politisi menerima uang dari warga asing untuk mencegah negara-negara asing mempengaruhi politik dalam negeri Jepang. (BBC/rosalinda)