JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM-Â Tutum Rahanta, Ketua Harian Asosiasi pengusaha Ritel Indonesia, menilai alasan siklus pemerintah mengakibatkan fluktuasinya harga pangan bukan pembenaran.
“Saya lihat Departemen Perdagangan berusaha menstabilkan harga. Tapi kalau suplainya tidak ada, apa yang mau dibuat,†kata Tutun di Jakarta, Jumat (29/1/2011).
Menurut Tutum, masalah ini bukan hanya terkait distribusinya. Tetapi hal yang paling mendasar yakni membereskan persawahan petani harus dilakukan segera oleh Kementerian Pertanian. Ia juga minta intansi terkait berkoordinasi dengan baik, misalnya pengadaan pupuk, bibit unggul, pengairan dan lain sebagainya.
“Soal pangan di bawah Kementerian Pertanian. Yang kita sayangkan adalah tingkat koordinasi tidak berjalan baik sehingga masalah ini tidak bisa diselesaikan pemerintahan kita.” Jelasnya.
Bahkan untuk kebijakan jangka pendek misalnya, Tutum juga menilai kurang bagus. Salah satu contoh dalam hal operasi pasar (OP). “Model penyelesaian jangka pendek dengan OP. Betul untuk sesaat menyenangkan masyarakat. Pasar murah bukan solusi jangka panjang,” tegasnya.
Wakil Menteri Pertanian merangkap staf ahli Menko Perekonomian bidang pangan, Bhayu Krishnamurti, mengakui masih banyak persoalan terkait dengan stabilitas pangan yang belum dipecahkan. Kendati krisis pangan dunia 2008 versi pemerintah berhasil dihindarkan. Tetapi setelah 2008, apa?
Dunia mengalami krisis pangan 2007-2009, Indonesia diakui oleh FAO sebagai negara yang mampu menjaga stabilitas harga pangannya. Pada saat yang sama, harga beras melesat dari US$ 300 menjadi US$ 1000, di dalam negeri tidak berubah. Begitu juga komoditas lainnya, pada saat harga naik Indoensia stabil tidak berubah.
Prestasi semacam inilah yang rupanya belum dirasakan kembali oleh ibu-ibu rumah tangga di pemukiman pinggir kota. Â “Ibu- ibu ya pusing. Sembako mahal, semuanya mahal. Pak presiden SBY dengarkan ibu- ibu,” ungkap Meliana seorang ibu rumah tangga di Jakarta timur, Jumat (29/1/2011). (friz)
Â